Pages

Search This Blog

Monday, September 29, 2014

Kebiasaan Orang Tua Yang Menyebabkan Anak Berprilaku Negatif (Part 1)

By: Superemak Cibi Cibi. ID FB: Superemak Cibi Cibi

"Mana yang nakal, Mejanya ya?" Suara seorang Ayah lantang sambil menghampiri balita yang tengah
menangis karena terjatuh di dekat meja. Tak lama kemudian terdengar suara Ayah memukul meja, "buk..buk..", lalu si Ayahpun berkata dengan bangga... "Udah...udah ayah pukul mejanya, cup cup yaa..jangan nangis lagi". Apa Anda familiar dengan peristiwa tersebut? atau Anda
pernah melakukannya? Sebetulnya ini adalah kebiasaan yang buruk karena bisa menghilangkan rasa
bertanggungjawab anak di kemudian hari. Akibatnya, kelak Orangtua akan kesulitan mengatur perilaku anak, bagaimana cara yang tepat dan apa lagi ya kebiasaan yang buruk bagi tumbuh kembang anak?

1. Mengalihkan Tanggung Jawab
Ilustrasi Ayah memukul meja di atas adalah kebiasaan pengalihan tanggungjawab. Kebiasaan ini tampaknya lazim dilakukan. Niat Ayah sih baik, agar anak berhenti menangis, tapi si Ayah telah salah menempatkan perasaan. Sebagai orang dewasa, kita sangat tidak ingin dianggap salah oleh orang lain. Maka, secara tidak sadar, si Ayahpun menyalahkan meja, kursi, lantai, atau apapun, asal bukan anaknya. Padahal si anak jatuh karena tubuhnya memang sedang belajar untuk menyeimbangkan diri. Secara psikologis, hal ini adalah
proses penumpulan logika anak sekaligus melatihnya untuk tidak bertanggungjawab. Akibatnya di waktu dewasa, di dunia kerja anak sulit mengidentifikasi sebab akibat, akhirnya ia tidak bisa
memberikan solusi yang jitu bagi problem perusahaan. Masalah A, Solusinya malah Z. Selain itu, ia juga cenderung menyalahkan orang lain atas kegagalannya, bahkan..menyalahkan kita sebagai orangtuanya.
Saat anak terjatuh adalah momen emas untuk menyadari bahwa ada sebab ada akibat, sekaligus membangun daya juang serta rasa tanggungjawabnya. Yang Lebih Baik Dilakukan Saat anak terjatuh lalu menangis, kita harus mengajarinya bangkit. Bahkan saat kita tidak berkata apa apa pun, anak akan berusaha bangkit sendiri. Terkadang tangisan anak malah terjadi karena orangtua terlalu overacting. Sesekali, diam saja dan berikan anggukan senyum atau berikan tangan Ayah dan Bunda untuk membantunya bangkit. Bila merasa perlu penekanan, maka Ayah dan Bunda bisa katakan kepadanya untuk berhati-hati dan bermain lagi. Bila ia terluka, cukup peluk untuk menghentikan tangisannya dan ajak dia untuk mengobati lukanya. Tindakan-tindakan ini lebih hemat kata-kata, lebih hemat tenaga, tapi lebih efektif untuk membentuk prilaku positif.

2. Membohongi Anak
Saat kecil, anak-anak selalu mendengarkan apa yang kita katakan. Akan tetap semakin besar, kok anak makin susah dinasihati? makin enggan menurut, atau malah melawan. Apa anak-anak sudah tidak mempercayai kita lagi? Jawabannnya mungkin IYA! Coba tengok ke belakang, apakah kita pernah melakukan kebohongan-kebohongan kecil? Coba simak kisah ini. Mikaela berusia 1,5 tahun. Setiap ayahnya berangkat kerja, ia selalu menangis meraung- raung. suatu hari Mikaela tertidur ketika saatnya ayahnya berangkat kerja. Ternyata, Mikaela sama sekali tidak menangis. Sejak itu, Ayahnya selalu mengendap- endap saat pergi kerja sehingga Mikaela tidak menyadarinya. Atau untuk membujuk Mikaela, Ayah berkata bahwa Ayah hanya pergi sebentar saja, padahal ternyata pulangnya malam sekali. Contoh lain adalah menggunakan ancaman yang bohong. Misalnya saat Dodi tidak mau makan, ibupun
mengancam Dodi, "kalau nggak mau makan, nanti nggak boleh main perosotan". Padahal akhirnya boleh juga, lagipula, tidak ada hubungan antara makan dan main perosotan, kan? Anda familiar dengan kebiasaan tersebut? bila iya, mungkin inilah awal ketidakpercayaan anak kepada orangtuanya. Anak tidak lagi percayadengan apa yang kita katakan, bahkan anak kehilangan rasa amannya
akan janji-janji yang kita ucapkan Yang sebaiknya dilakukan Jujur dan proporsional dalam berkomunikasi dengan anak. Ungkapkan dengan penuh kasih sayang. Saat pergi ke kantor, sampaikan apa yang sebenernya dengan kata- kata yang mudah ia pahami misalnya seperti "Ella, Papa mau pergi ke kantor dulu ya, nanti sore
habie Ella mandi, Papa akan pulang kita bisa main lagi sama sama" Mungkin anak tetap menangis, tapi lama kelamaan dia belajar bahwa Papa memang akan tetap pergi, tapi sore nanti pasti datang. Ini menciptakan rasa aman dalam dirinya.

3. Mengobral Ancaman dan Omelan "Raka, awas jangan naik tinggi-tinggi, nanti jatuh loh!" "Awas jangan maen di lapangan, nanti diculik!" "Ayo dimakan dong makan siangnya, nanti Ayah/Bunda marah kalau nggak makan!" "Jangan bandel, nanti dipenjara pak polisi!" Saat kita putus asa setelah berbagai cara tidak dituruti anak, ancaman seringkali menjadi alternatif tindakan. Bedakan antara ancaman dan konsekuensi. Apabila kita menyampaikannya dengan nada tinggi, tidak mengubah posisi tubuh kita, apalagi dengan menunjuk-nunjuk anak, kita tengah mengancam anak. Selain itu, ancaman biasanya tidaklah dibuktikan. Hanya untuk
menakut-nakuti saja. Apalagi kalau mengancam dengan menggunakan institusi tertentu yang seharusnya
menjaga keamanan, semisal polisi. Padahal, justru anak harus menghampiri polisi saat ketakutan, bukan sebaliknya. Apabila kita mengubah posisi sehingga mata kita bisa bertatapan dengan mata anak, mengubah intonasi jadi datar namun tegas, lalu konsekuensi benar-benar kita jalankan terhadap anak, maka kita tengan membuat sebuat konsekuensi. Anak sangatlah cerdas, ia mempelajari pola tingkah laku kita. Sekali dua kali ia temukan kita mengancam dengan ancaman kosong, maka ia belajar bahwa ancaman orangtua tidaklah serius. Selain itu, anak yang biasa diancam biasanya tumbuh jadi anak yang tidak merasa aman. Anak bisa tumbuh jadi anak yang tidak PD atau sebaliknya, anak yang suka mengganggu dan
mengancam orang lain. Yang sebaiknya dilakukan Saat anak melakukan kesalahan serius, coba berhenti
dari aktivitas kita, lalu minta anak untuk datang. Bicara dengan tegas namun tetap lembut, jelaskan perasaan kita dan tunjukkan prilaku anak yang mana yang harus diperbaiki serta sepakati konsekuensi yang akan didapat apabila anak mengulangi prilaku negatif itu lagi, contohnya. "Nina, Ibu khawatir kalau Nina main terlalu jauh. Kalau mau main agak jauh, ijin dulu ke Ibu ya supaya nanti Ibu temani"

4. Menyerang Pribadi Anak, Bukan Prilakunya
Kerapkali saat kita sedang capek-capeknya, kita mengomel tak karuan sehingga apa yang kita bicarakan
hanya hardikan demi hardikan. Kita tidak bisa menyampaikan dengan jelas prilaku apa tepatnya yang
tidak kita inginkan dari anak, misalnya. "Duuuh....kamu kok begitu sih! Mama sebel kamu begitu
lagi begitu lagi". Hal yang sebenarnya terjadi adalah anak pulang main terlalu sore sehingga ia terlambat
mandi atau mengerjakan sesuatu. Atau saat kita berkata "Ihh..kamu ini anak malas! maen melulu!"
Kalau hal ini dibiasakan, maka anak bisa-bisa merasa bahwa SEMUA yang dilakukannya salah, dan SEMUA yang dilakukan akan membuat anda kesal. Akibatnya, anak merasa dia bukan anak yang baik sehingga dia sekalian saja melakukan hal hal yang tidak benar sehingga Anda menjadi kesal.
Yang Sebaiknya Dilakukan Anak bukanlah peramal yang bisa dengan tepat memperkirakan apa yang kita inginkan. Sebaiknya gunakan kalimat yang spesifik pada prilaku yang kurang tepat dan fokus memperbaiki di sana. Misalya, "Riana, seharusnya Riana sudah pulang sebelum jam 5 Sore. Kalau Riana terlambat pulang, kamu bisa terlambat mandi dan mengerjakan PR, Riana mengerti, kan?" Jangan pula membiarkan diri kita larut dalam amarah, apabila anak sudah menunjukkan gelagat akan memperbaiki sikap, kendalikan diri dan terima dia kembali. Ini menegaskan bahwa yang Anda tidak suka adalah prilakunya dan bukan pribadinya.

5. Memberi Dukungan pada Hal yang Salah.
Menurut penelitian otak, otak kita memang lebih memperhatikan hal-hal yang negatif. Demikian pula yang terjadi dalam dunia orang tua dan anak. Kerapkali kita lebih tertarik untuk memperhatikan anak, justru saat
mereka berbuat hal yang kurang baik. Misalnya, saat anak bertengkar, baru kita beranjak dari gadget kita. Atau saat anak merusak sesuatu, barulah kita memperhatikannya, menasihati bahkan mengomeli. Sedangkan sebaliknya saat anak menunjukkan prilaku yang baik kita malah biasa-biasa saja. Anak bisa jadi berpikir bahwa untuk mendapatkan perhatian kita, mereka perlu berbuat sesuatu yang tidak baik! Nah, susah kan kalau begini... Yang Sebaiknya dilakukan Beri penghargaan saat mereka berprilaku baik, misalnya saat bermain dengan rukun, atau mereka mau berbagi, atau hal-hal sederhana seperti saat anak meletakkan handuk pada tempatnya, misalnya. Ungkapkan perasaa anda seperti : "Bunda senang lihat Ade bisa meletakkan handuk di tempatnya sehabis mandi!" Anak anda pasti senang dan akan mengulanginya lagi



Bersambung ke Part 2...

Cara Alami Supaya Kadar Glutathione Tetap Tinggi

Glutathione, antioksidan yang terdapat di dalam tubuh, tugasnya menurunkan radikal bebas yang menyebabkan stres oksidatif, merusak sel tu...